Yahukimo, Papua Pegunungan — Tragedi yang menimpa seorang guru perempuan, Melani Wamea, di Kabupaten Yahukimo kembali mengguncang nurani publik. Aksi kejam yang dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) ini menambah daftar panjang korban dari kalangan tenaga pendidik dan kesehatan di wilayah pedalaman Papua.
Peristiwa ini sekaligus memunculkan gelombang opini di ruang publik. Banyak pihak menilai bahwa narasi “Papua tidak butuh militer, tapi butuh guru dan tenaga medis” yang kerap didengungkan oleh sebagian aktivis kini patut dipertanyakan kembali.
Sejumlah pengamat keamanan menilai tragedi ini sebagai bukti nyata betapa kompleksnya situasi keamanan di Papua. “Jika guru dan tenaga medis yang datang dengan niat tulus membantu justru menjadi sasaran kekerasan, maka negara perlu meninjau ulang strategi perlindungan di wilayah rawan tersebut,” ujar salah satu pengamat sosial di Jayapura.
Di sisi lain, masyarakat menyoroti diamnya sebagian aktivis dan kelompok sipil yang selama ini lantang menolak kehadiran aparat di Papua. “Ketika aparat bertindak, mereka teriak pelanggaran HAM. Tapi ketika guru dan nakes dibantai, mereka diam,” ungkap seorang tokoh pendidikan Papua yang enggan disebut namanya.
Tragedi ini juga memantik seruan agar pemerintah lebih bijak dalam menempatkan tenaga sipil di wilayah rawan. Sebagian masyarakat bahkan menyarankan agar para mahasiswa dan aktivis yang kerap menyerukan “Papua damai tanpa militer” turut turun langsung ke lapangan untuk berkontribusi nyata dalam pendidikan di daerah asal mereka.
Pada akhirnya, peristiwa yang menimpa almarhumah Melani Wamea menjadi cermin getir bahwa niat baik tidak selalu diterima dengan damai di tanah yang masih bergolak. Keamanan, pendidikan, dan kemanusiaan tidak bisa berdiri sendiri — semuanya membutuhkan sinergi yang realistis, bukan sekadar slogan.